
Yudi sedikit mengulas, bahwa dulu lembaga permusyawaratan di suatu desa dipimpin juga oleh sang kepala desa (kades). Tentunya secara teori pun, kata Yudi, ini tidak cocok.
Oleh karena itu, pasca reformasi dan demokrasi berkembang, muncullah cabang kekuasaan dan pemerintahan. Adapula cabang yang mengawasi. Maka lahirlah pula BPD dengan segala kewenangan dan haknya.
“Akan tetapi segala kewenangan dan hak itu tidak akan berjalan baik, kalau tidak dipahami oleh anggota BPD itu sendiri. Jadi ini perlu diasah,” ingatnya.
Nah, lahirnya FKBPD juga, sambung dia, sangat bagus. Karena disitu para anggotanya bisa saling bertukar informasi, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait problem-problem pemerintahan desa.
“Sehingga, genaplah kemampuan-kemampuan anggota BPD,” imbuh dia.
Jika pun terjadi silang pendapat atau berseberangan pikiran dengan pemeritah desa, kata Yudi, itu hal yang wajar dan biasa.
“Riak-riak senggolan antara BPD dan Kades itu, saya rasa kensekuensi yang wajar. Yang kita takutkan itu kalau dua kekuasaan ini (BPD dan Kades) bergabung. Apalagi dalam ruangan khusus. Nah, yang diluar tertinggal,” selorohnya.
Terpenting dari semua itu, lanjut Yudi, Kades bisa menjalankan kebijakannya dengan baik, dan BPD menjalankan peran mengawasi.
Komentar